Finally, Jogya…..Jogya, akhirnya kesampean juga
berkunjung lagi ke kota bakpia patok.
Trip kali ini saya memakai tranportasi kereta api. Karena sudah lama sekali saya tidak naik kereta, terakhir
tahun 2001, ke Jogya juga.
Sebetulnya paling praktis naik travel, jemput
ditempat, sampai ditempat, ga perlu repot bawa tentengan kesana kesini, ga
perlu datang and antri di stasiun (bis atau kereta), ga bakalan ketinggalan
pula. Tapi naik travel makan waktu 7-8 jam (dari kota saya, Surabaya), sedangkan
naik kereta cuma 5 jam. Selisih harga tidak banyak, bahkan bisa lebih murah
naik kereta daripada naik travel, kalo beli tiket kereta jauh jauh hari
sebelumnya. Harga tiket kereta bisa dicek di www.tiket.kereta-api.co.id
Kalo naik pesawat pasti lebih cepet kira kira satu
jam, tapi harga tiket 1 kali jalannya bisa dapat tiket PP kereta api (dari
Surabaya tidak ada penerbangan promo ke Yogya), belum lagi bayar airport taxnya, kudu check in 1 jam sebelum jam
board, rempong, mahal dan sama sekali ga praktis (letak stasiun KA lebih
terjangkau – di dalam kota, dibandingkan lokasi airport).
Btw, PT. PJKA sering lho ngadain promo, jadi buat yang
mau travelling ala backpacker bisa juga manfaatin promo dari PJKA.
Tiket kereta api bisa dibeli via on line sekarang.
Biaya adminnya, kalo payment pake ATM Bank (ga bisa payment by internet banking), kena charge Rp. 7.500 per transaksi. Kalo payment pake kartu kredit kena charge Rp.
22.000 (mahal ya). Mau ga kena charge, bisa, beli langsung di loket stasiun
kereta hehehe…
Tiket kereta juga bisa dibeli di Indomaret lho, kena
biaya Rp. 7.500 juga.
Oh ya, tiket kereta bisa dicancel, maksimal 30 menit
sebelum jam keberangkatan, kena penalty 25% dari harga tiket. Dana refund 75% bisa diambil 1 bulan setelah proses pembatalan tiket
diloket kereta (ada temen yang batal berangkat, jadi tiketnya direfund).
Saya naik kereta Sancaka sore, kelas Bisnis, jam 15.45
dari stasiun Gubeng baru (untuk pemberangkatan kereta kelas eksekutif dan
bisnis).
Saya koq lebih suka suasana stasiun Gubeng lama
(sekarang untuk pemberangkatan kereta kelas ekonomi). Tahun 2001 waktu saya
naik kereta dari sana, suasananya menyenangkan disana, tapi saya tidak tau
kondisi stasiun Gubeng lama sekarang ini.
Karena melewati jam makan malam, saya sudah siap nasi
bungkus buat makan dikereta dan air minum. Soalnya harga makanan di kereta
mahal banget, sepiring bisa Rp. 20.000.
Tapi tenang aja, disetiap pemberhentian stasiun banyak koq pedagang yang menawarkan
makanan, dan harganya ga sampe Rp. 10.000. Tapi beli minum dipedagang mahal
sebotol bisa Rp. 4.000, ada juga stasiun yang
jual air minum Rp. 3.000 per botol (kalo ga salah stasiun Madiun).
Oh
ya, PJKA juga menyewakan bantal duduk, harga sewa Rp. 10.000.
Info hasil berguru sama mbah Google, katanya kereta
kelas bisnis sekarang pake AC, hoorreeee….ga perlu kepanasan and ga berisik.
But you know
what, kereta yang saya naiki tidak ada
AC, cuma ada fan, yang sama sekali ga berasa (kecewa.com – apa karena saya
berangkat beli tiket promo yah???). Untung
saya naik kereta sore, jadi panas bentar doang sampe jam setengah lima sore, ga
kebanyang deh kalo naik kereta pagi yang nyampenya siang, panasnya ampun deh….
Karena perjalanan sore hari, jadi saya bisa dapet view
sunset, lumayanlah. Pemandangan dari jendela kereta sawah sawah, or
perkampungan pinggir kereta, that’s all. 5 jam benar benar lama, ngobrol sampai
bosan, tapi ga bisa tidur. Sepanjangan perjalanan saya tidak ke toilet, jadi
saya tidak bisa info kondisi toilet di dalam KA. Hanya saja waktu lewat didepan
toilet saya tidak mencium “parfum” khas toilet.
Angin malam yang masuk lumayan kenceng, jadi saya pake
jaket daripada masuk angin.
Jam ketibaan kereta ditiket 20.29, jam 8 lebih 15 menit kereta sudah masuk di kota
Yogyakarta, kemacetan kendaraan menuju ke Malioboro sudah tampak. Saya tidak
tau dijalan mana, yang pasti jalur kereta berada diatas jalan raya, jadi view
jalan raya dan lampu lampu kota tampak cantik, tapi saya ga sempet motretnya.
Kereta on time, sampai di stasiun Tugu jam setengah 9 malam, kereta stop di jalur 4 (disini ada 6 jalur kereta). Turun ke
toilet dulu
(gratis). Disini ada depot menjual menu
makanan Indonesia yang murah, range harga Rp. 8.500 – Rp. 15.000.
Untuk keluar dari stasiun kudu lewat terowongan (turun
dan naik tangga), buat yang bawaannya berat dan banyak, sama sekali tidak
praktis, lebih baik tanya ke petugas exit yang ga usah lewat terowongan.
Dipintu keluar ada 7-11, kami
mampir sebentar disini.
Kami naik becak, tujuan Hotel Pantes, di jalan Sosrakusuman, belakang
malioboro mall, ongkos becak, hasil menawar Rp. 10.000.
Tapi penginapan ini ga bisa dibooking, jadi kudu book
ditempat.
Waktu book tiket kereta, saya ga memperhatikan masa liburan sekolah (sama sekali lupa kalo bulan Juni
bulan liburan sekolah), yang saya perhatikan hanya harga tiket paling murah
hari Jum’at (SBY
– YGY) dan Minggu (YGY –
SBY).
Alhasil, begitu saya sampai ditempat, penginapan full.
Penginapan favorit turis backpacker di Malioboro, yaitu dijalan Sosrowijayan, kalo dari stasiun tugu jalan aja,
deket koq. Menyebrang
perempatan malioboro gang pertama dari ujung jalan adalah jalan Sosrowijayan. Tapi kalo book penginapan disini
jangan dekat dekat dengan jalan pasar kembang, itu adalah daerah prostitusi. Yang ke dua di jalan Dagen (sepanjang
jalan Dagen isinya penginapan, rumah makan bisa dihitung jari, tapi hebatnya
semuanya full – OMG), lalu
dijalan Sosrokusuman (jalan ini
kurang begitu populer, masuk digang sempit) dan terakhir setelah pasar Beringharjo (saya lupa nama jalannya).
Setelah itu dekat kraton or di Prawirotaman (tempat
favorit turis asing), tapi jauh dari Malioboro dan tidak ada transport umum
yang menjangkau langsung, harus naik bis trus naik becak.
Didepan Hotel Pantes ada penginapan The Munajat
Backpacker (penginapan yang satu ini juga banyak direkomendasikan). Letak ke
dua penginapan ini sangat strategis, makanya saya pilih disini, hanya 1 menit
dari Malioboro, dekat Halte Trans Jogya – Malioboro 2. Mau makan, jalan dikit
aja ke pasar Beringharjo, benar benar penginapan yang OK untuk pelancong ala
hemat.
Tapi apa daya saya datang diwaktu yang kurang tepat,
jadi ga bisa menikmati penginapan disini.
Harga Hotel Pantes untuk 2 bed dengan kamar mandi dalam Rp. 90.000 per malam, dapat
teh manis di pagi dan sore hari, murah
kan.
Sama bapak becak, yang sudah mengerti kalo penginapan
banyak yang penuh, kita ditunggu, just in case kalo penginapan penuh, kami
dibantu dicarikan penginapan lain. Seperti prediksi bapak becak penginapan sudah
penuh, ya udah cari penginapan dekat Pasar Beringharjo, tujuan, gampang nyari
sarapan dan dekat halte Trans Jogya – Ahmad Yani. Tapi rupanya keberuntungan
belum berpihak pada kami, jadi keliling keliling hampir 30 menit masih belum
menemukan penginapan.
Berjumpa dengan polisi patroli yang memberitahu kalo penginapan di daerah
Malioboro, jalan Sosrowijayan, Dagen dan Sosrokusuman sudah full. Jadi
aternatif tinggal stay di Prawirotaman atau di daerah Kraton.
Pertama kali dalam sejarah travelling saya merasa
panik tidak dapat penginapan, mau tidur dimana saya malam ini. Dalam perjalanan
saya sempatkan telpon ke beberapa penginapan hasil googling, dan alhasil smua
penginapan sudah penuh, lalu saya on line www.booking.com, dan benar aja tidak ada penginapan murah, yang
paling murah Rp. 800.000,……sempet ngeblank sebentar….. delapan ratus rebu!!! Alamak mahal amat, ga banget deh buat gaya travelling saya yang ala
backpacker, kita bilang sama bapak becak minta tolong dicarikan didekat
Malioboro. Sama bapak becak kami diarahkan dekat stasiun Tugu, kami Ok aja,
yang penting dapat penginapan. Saya sudah siap siap seandainya ga dapat
penginapan, terpaksa 1 malam ngamar dihotel berbintang, ga mungkin kan kalo
tidur dijalan.
Akhirnya info hasil bertanya bapak becak, kami
diberitahu masih ada 1 kamar kosong di jalan Jlagran, belakang jalan Malioboro.
Jadi kami langsung kesana.
Nama penginapan Wisma Tapan, Jl Jlagran No 7. Telp (0274) 580397
Jalan santai ke Malioboro max 10 menit. Penginapan
dengan fasilitas kamar mandi dalam sudah penuh, yang tersisa hanya 1 kamar,
kamar mandi luar. Ya udah apa boleh buat, yang penting dapat kamar.
Kamar standar, tempat tidur kapuk (agak sedikit tidak
nyaman – bisa untuk 2 orang), ada meja cermin kecil, kipas angin dinding, ada kursi dan meja kecil
diluar kamar, kamar mandi bersih, fasilitas roti dan teh manis pagi hari, plus
2 botol air mineral per hari. Harganya sangat tidak masuk akal buat saya, Rp.
150.000 per malam (mungkin ini harga high season, untuk low season mungkin
hanya 50ribu an), dan hanya tersisa 1 kamar saja. Karena sudah malam, jam 10
lebih, kami langsung book buat 2 hari.
Saya suka tempat ini ada taman kecil, jadi udara pagi
segar. Minus penginapan ini, dinding kamar sangat tipis, jadi
kalo tetangga kamar ngobrol terdengar, berisik. Hanya ada 1 stop kontak, jadi
kudu gantian charge batterai and yang
punya penginapan punya ayam jantan banyak, jadi kalo pagi….. ya gitu deh….
Belum cerita perjalanan saya, prolog perjalanan saya
sudah banyak. Semoga ga bosen ya baca trip saya kali ini.
OK, start to my real trip.
Sabtu, 29 Juni 2013
Borobudur – Prambanan – Mirota, Malioboro – Masangin
Bangun pagi pagi, tujuan supaya ga antri kamar mandi (karena
penginapan full), secara kamar mandi share. Saya
mandi jam 4 pagi, setelah mandi, lanjut tidur lagi hehehe…
Karena saya sudah pesan ke bapak pengurus penginapan
kalo jam 6 pagi saya sudah mau berangkat ke Borobudur, jadi saya minta teh dan
roti diantarkan jam 6 pagi.
Selesai minum teh, langsung berangkat ke halte
Malioboro 1 (letaknya diujung jalan Malioboro, dekat stasiun Tugu).
Dibandingkan dengan Busway Jakarta, saya lebih suka
naik Trans Jogya (warna bis hijau). Kenapa? Harga lebih murah Rp. 3.000, ga
perlu naik turun tangga, langsung datang hanya perlu naik 3 anak tangga saja,
beli tiket bis, lalu masuk ke dalam halte mini, tunggu bis datang. Ada kursi
tunggu tapi hanya cukup buat 3/4orang saja.
Minus dari Trans Jogya, jadwal bis tidak bisa
diprediksi, dan tidak beraturan. Maksud tidak beraturan, misal baru saja datang
bis 1A, belum tentu selanjutnya yang datang bis 1B, kadang yang datang bis 1A
lagi, disebabkan karena rute bis 1B yang macet, jadi kedatangannya terlambat.
Kalo tidak mengerti rute, tinggal tanya petugas, nanti
diarahkan naik bis jalur berapa turun dimana.
Saya naik bis 3A, turun di Halte Kha Dahlan, sambung
jalur 2B, turun diterminal bis Jombor. Bisa juga naik jalur 2A, tidak usah
ganti bis, sampai diterminal Jombor. Tapi rute lebih memutar, oleh petugas kami
diarahkan rute yang lebih pendek. Lama perjalanan plus tunggu bis setengah jam
untuk sampai di terminal Jombor.
Walaupun
saya ganti bis, tapi saya tidak perlu beli tiket lagi.
Sudah ada bis jurusan Borobudur didekat halte Trans
Jogya, di depan kaca bis terpasang papan Yogya – B.Budur.
Bis menunggu penumpang penuh baru berangkat, ongkos
Rp. 15.000.
Di jalan Magelang kira kira KM 12 ada kecelakaan antara mobil vs sepeda motor, rupanya ada korban jiwa
(info dari penumpang yang naik dari sana), jadi perjalanan agak macet. Karena
kecelakaan baru terjadi jadi kemacetan tidak parah. Perjalanan
juga melalui stasiun bis Muntilan
(info
saja siapa tau ada yang mau ke Muntilan).
Jam 9 pagi kami sampai di stasiun bis Borodudur. Lama
perjalanan 1,5 jam dari terminal Jombor. Dari sini kami naik becak motor ke
candi, ongkos Rp. 15.000.
Bapak becak menawarkan tur ke candi candi lain di
sekitar Borobudur, membaca blog orang lain yang punya pengalaman buruk dengan
hal ini, jadi kami tolak dengan halus tawarannya. Sampai dicandi, kembali bapak
becak menawarkan penjemputan, dengan memberikan no HP yang bisa dihubungi, jadi
tinggal SMS nanti dijemput, saya catat nomornya, masalah jadi atau ga jadi
urusan belakangan.
Kami berjalan menuju ke loket, tiket masuk Rp. 30.000. agi yang
ingin masuk ke Borobudur view Sunrise, jam 04.30 WIB tiket masuk Rp. 300.000
(biasanya yang masuk turis asing or fotografer yang berburu sunrise). Walaupun masih pagi pengunjung sudah banyak,
terutaman wisatawan domestik, banyak sekolah sekolah yang mengadakan studi tour
disini, yang paling jauh dari Papua (takjub.com), ada yang dari Kalimantan,
Sulawesi, jauh banget yah studi tournya.
Jam
buka candi : 06.00 – 17.00 WIB
Sepanjang
jalan dari pintu masuk sampai loket tiket banyak stand yang menjual bajudan
makanan. Saat ini untuk pengunjung berusia diatas 16 tahun diwajibkan untuk memakai kain. Kainnya
bagus lho, saya suka motif batiknya, beda dengan kain diBali.
Sudah lama saya tidak mengunjungi Borobudur, terasa
kalo candi yang satu ini tinggi banget, dan luas.
Beruntung cuaca sangat bersahabat, sama sekali tidak
ada matahari, cuaca sejuk. Jadi kami sangat menikmati perjalanan kami, bisa
mengambil banyak gambar disini. Saat kami mencapai puncak, jam menunjukkan
pukul setengah 11 siang, matahari mulai menampakkan diri, panas sekali, jadi
setelah pose sana sini, kami langsung turun ke bawah. Tujuan ke musem, untuk
duduk dan ngadem sih sebenarnya hehehe…..
Jam
setengah 12 siang kami kembali ke Malioboro. Matahari terik sekali, kami exit
diarahkan melewati pedagang kaki lima. Bagi yang ingin beli oleh oleh, saya
sarankan beli disini, harga lebih murah dibandingkan di Malioboro.
Diluar
pagar sama sekali tidak ada becak, yang ada hanya andong, dan itupun cuma ada
satu. Terpikir untuk sms P. Nur (nama bapak becak tadi), tapi saya putuskan
untuk naik andong saja. Karena saya sudah ga tahan dengan panasnya matahari
disana. Ongkos tawar menawar Rp. 10.000.
Sampai
di terminal bis, sama sekali tidak ada bis, kata penjaga warung bis terakhir
baru saja berangkat. Dan ada yang menawarkan jasa untuk mengantarkan ke Yogya,
katanya kalo hari Sabtu dan Minggu, banyak yang memakai jasa persewaan mobil,
jadi bis jarang. Karena saya sudah baca blog orang, memang ada hal semacam ini
disana, jadi saya ignore aja. Baru saja saya mau duduk diwarung, eh bis sudah
datang.
Jalan
Magelang masih macet, saat ini macetnya lebih parah dibanding saat berangkat,
rupanya kecelakaan pagi tadi masih menyisakan kemacetan disana.
Kata
orang kalo ke Yogya jangan lupa mampir ke rumah makan jejamuran di Sleman.
Karena Sleman jauh jadi saya skip tempat ini dari itinerary. Ternyata waktu
berangkat dari Jombor ke Borobudur saya melihat kalo letak rumah makan ini di
jalan Magelang yang dilalui bis dari/ke stasiun bis Jombor.
Karena
tidak tau alamat persisnya, saya bilang ke bapak sopir dan kernet bis kalo mau
turun di rumah makan jamur. Ternyata kernet sok pintar, rumah makannnya sudah
kelewatan.... yah, batal deh menyicipi makanan ala jamur.
Kalau
mau makan disini ingat, turun di jalan Magelang KM 10. Dari sana sudah ada
banner kalo rumah makan Jejamuran dari jalan utama masuk kira kira 800 meter.
Sampai
di Jombor, penumpang di halte sudah penuh. Bis yang datang jalur 2B, selang 5
menit datang lagi bis jalur 2B. Menunggu 20 menit baru bis 2A datang (karena
jalur bis 2A macet, ada perbaikan jalan), kami turun di halte Malioboro 2,
tujuan makan siang di Loving Hut.
Sampai
di Malioboro sudah jam setengah 3 sore, kelamaan di antri Trans Jogya dan macet
dijalan.
Alamat
Loving Hut : Jl. Dagen, Malioboro, (Jl. Kemetiran Kidul No. 1).
Masuk
ke jalan Dagen, jalan sampai perempatan pertama, Loving Hut disebelah kanan
jalan.
Bagi
vegetarian yang tidak makan bawang, waktu order jangan lupa bilang ke pelayan.
Saya order Mie pangsit (karena pengen makan kuah), teman saya order nasi
bakmoy. Saya juga order Burger, tapi dibungkus, untuk makan malam.
Over
all, menu OK, harga lebih mahal dibandingkan dengan Loving Hut express di
Surabaya, range harga Rp. 14.000 – Rp. 25.000.
Karena
sudah sore, kami putuskan untuk segera menuju ke Prambanan. Sengaja ke sini
sore hari supaya ga panas, ke Borobudur juga pagi hari, menghindari panas
matahari.
Naik bis jalur 1A dari Malioboro. Normalnya perjalanan ke Prambanan dari
Malioboro 30 menit. Tapi perjalanan yang saya tempuh 1 jam *tepok jidat*, gara
gara macet luar biasa karena ada proyek pelebaran jalan.
Oh ya, tips naik trans Jogya. Meskipun bis penuh dan harus berdiri,
masuklah kebelakang jangan ke depan, karena dibelakang lebih banyak tempat
duduk, dibandingkan didepan. Jadi bila ada penumpang yang turun bisa dapat
tempat duduk.
Pengalaman saya yang nota bene sehari hari ga naik bis, naik bis cuma
kalo travelling ke luar negri, jadinya saya berdiri sepanjang perjalanan karena
penumpang yang duduk didepan ga turun turun, sedangkan penumpang yang belakang
sudah naik turun *cape lho*.
Jam 17.10 kami sampai distasiun bis Prambanan. Karena mau cepat sampai,
takut keburu candi tutup, kami naik becak motor. Hasil tawar menawar Rp.
10.000. Tapi ternyata dekat, hanya perlu menyebrang jalan, lalu susuri
sepanjang jalan sampai ada belokan, belok, jalan sedikit, sampai deh.
Jam operasi candi Prambanan : 06.00 – 18.00
Loket tiket buka sampai jam 17.45, candi ditutup sampai pengunjung
habis.
Tiket masuk Rp. 30.000 (tiket seperti kartu ATM, yang dimasukkan ke
mesin pintu masuk), tapi bisa buat masuk ke beberapa candi kecil disekeliling
candi.
Kalo mau keliling ke candi candi lain, jam 15.00 max sudah harus sampai
disini, lalu keliling dulu ke candi yang lain, baru terakhir masuk ke
Prambanan. Ada fasilitas bis gratis menuju kecandi Bokor dari Prambanan.
Karena masuk ke sini sudah mendekati jam tutup candi, jadi pengunjung
hanya sedikit dan tidak banyak orang berebut untuk foto.
Berdasarkan info dari teman yang dulu kuliah di Yogya, katanya Prambanan
masih berbau mistis, jadi karena sudah magrib, saya hanya keliling disekitar
candi, dan tidak ada 1 candipun yang saya masuk ke dalam. Hanya naik saja, dan
keliling disepanjang pelataran candi.
Kata orang sunset disini bagus sekali, tapi apa daya waktu itu berawan,
jadi sama sekali tidak ada view sunset. Oh ya, kalau ingin foto dengan view ke
5 candi terlihat semua, foto waktu sebelum memasuki kawasan candi, dipekarangan
candi - lapangan rumput, sebelum tempat pengambilan kain. Sama seperti
Borobudur, masuk ke sini juga perlu pakai kain bagi pengunjung yang sudah dewasa.
Kain masuk kesini lebih halus dibandingkan kain di Borobudur, gambar batiknya
juga beda. Untuk gambar saya lebih suka motif candi di Borobudur, untuk kainnya
saya lebih suka kain di prambanan.
Untuk masuk ke candi terbesar (Candi Siwa), pengunjung harus antri,
karena diwajibkan memakai helm.
Beda candi Borobudur dan Prambanan, menurut pengamatan saya terletak
dari relief candi. Relief candi Borobudur merupakan kisah perjalanan pangeran
Sidarta Gautama menjadi Budha. Sedangkan candi relief Prambanan mengisahkan
kisah Mahabarata. Selain itu bentuk stup candi berbeda. Candi hindu cenderung
lebih runcing sedangkan candi Budha stupa lebih melebar, ujung stupa tidak
runcing.
Jam 6 lebih para pengunjung sudah mulai meninggalkan candi, karena
disini sama sekali tidak ada penerangan, jadi kalo malam gelap gulita. Ada
turis dari Itali, memaksa masuk lagi (poisi sudah hampir exit), sampe nyogok
petugas supaya dikasih masuk (terang terangan lho), tapi ga dikasih ijin.
Dari pintu exit, kembali melalui para pedangan yang berjualan asesoris,
baju, tas, kerajinan. Ada orang Jakarta yang flight malam, jadi sebelum ke
airport ke Prambanan dulu, jalan jalan plus borong, baru naik bis ke Airport.
Karena rute bis trans Yogya melalui Airport. Jadi buat pelancong yang ingin
menghabiskan waktu sebelum ke airport, kayaknya Prambanan ini cocok untuk
dijadikan last destination.
Harga barang disini lebih murah dibandingkan di Malioboro.
Pada hari hari tertentu ada pertunjukkan sendratari Ramayana dipelataran
barat candi, tiket untuk melihat pertunjukkan tari ini kalo ga salah ditas Rp.
200.000. Biasanya yang melihat pertunjukan ini turis asing.
Pelataran
Candi Prambanan sebagian besar taman, yang kalo malam gelap gulita tidak ada
penerangan sama sekali dan tidak ada petunjuk exit, jadi ikuti saja rombongan
orang orang yang exit.
Pengalamam
dari perjalanan menuju ke candi dari stasiun (koq keliatan dekat),jadi kami
kembali ke stasiun jalan kaki.
Berhubung
sudah gempor and males jadi rasanya perjalanan jauh banget, rasanya jalan kaki
15 menit (kalo ga salah).
Antri
bis Transyogya tidak begitu lama, lama perjalanan kembalike Malioboro 1 jam.
Kami turun di benteng Vredeburg, naik becak tujuan Masangin (Pohon beringin di
dekat kraton). Ternyata tukang becak di Yogya, mahal, tarif paling murah 10.000
(untuk tujuan dekat).
Ternyata
abang becak di Yogya ga ngerti masangin. Mereka taunya pohon beringin di alun
alun utara atau selatan. Nah lho, kagak tau gua neh, alun alun sebelah mana
yah?
Ya
udah pasarah aja sama bang becak, nawar 10.000, dibawa ke alun alun utara. Yang
ternyata cuma pasar malam (kurang begitu bagus) and ada 2 pohon beringin (tapi
ga besar). Proteslah diriku, “Bukan yang ini pak”, “Oh, kalo gitu alun alun
selatan, mbak”.
Ya
udah naik, lagi ke alun alun selatan, yang ternyata jauh banget, perjalanan 15
menitan, naik becak. Lewat belakang taman sari, sebelumnya banyak lewat kios
kios yang berjualan kaos kaos, bisa mampir kalo mau. Alun Alun selatan ga ada
jam tutupnya. Semakin malam semakin rame.
Sampe
disana, ternyata ramee banget, sama abang becak ditawari, saya tunggu aja mbak,
nanti saya antar kembali ke penginapan. Pengalaman susah nawar becak di depan
benteng Malioboro, jadi saya iya kan saja.
Disini
banyak kereta hias, ga tau bayar berapa kalo mau naik. Gambarnya macem macem
dari tokoh pewayangan sampe tokoh kartun. Saya mencoba berjalan diantara 2
pohon beringin dengan mata tertutup, tapi ga sewa kain tutup mata, pake tutup
mata sendiri and berhasil.
Sewa
kain untuk penutup mata Rp. 5.000.
Selain
main naik kereta hias dan jalan diantara 2 pohon beringin, tidak ada lagi yang
menarik disini. Karena sudah malam kita balik ke penginapan.
Gempornya
perjalananan hari ini.
Minggu, 30 Juni 2013
Benteng
Vredeburg, Taman Sari, Kraton Yogya.
Pagi
ini kami berjalan melintasi jalan Malioboro, foto di tulisan malioboro dalam
huruf honocoroko dan tidak lupa foto diplang jalan Malioboro. Walaupun masih
pagi jam setengah 7, mau foto disini antri lho.
Kami
berjalan sampai diPasar Beringharjo, tujuan sarapan pagi. 1 blok sebelum pasar
beringharjo ada gate ala pecinan, seperti yang Petaling Street, Kuala Lumpur.
Gate gang Ketandan. Foto foto dulu sebelum lanjut ke pasar Beringharjo.
Sarapan
pagi didepan pasar, bihun dan kuah kacang (no lauk, karena saya vegetarian).
Ternyata bayarnya mahal banget Rp. 8.000 (OMG). Tapi semua lauk disana memang
mahal mahal. Rata rata pengunjung lain makan disana bayar Rp. 15.000 lebih. Harga
segini mending makan didepot yah.
Selesai
sarapan masuk ke Benteng Vredeburg. Tiket masuk Rp. 2.000. Benteng ini buka
mulai pukul 8 pagi. Ga ada yang bagus sih dari benteng ini, hanya benteng
kecil, dengan ruang diaroma. Keliling disini cukup 1 jam saja, lumayan untuk
menghabiskan waktu.
Next
lanjut ke Taman Sari. Naik becak Rp. 15.000. Saya koq ga pernah berhasil
menawar becak Rp. 10.000 (kagak ada becak yang mau dengan harga segitu). Saya
lupa harga tiket masuk ke taman ini. Masuk kedalam langsung ada kolam renang,
yang katanya konon adalah tempat pemandian raja.
Disini
tidak ada yang istimewa menurut saya. Yang istimewa adalah perkampungan dibalik
Taman Sari.
Karena
saya tidak pakai jasa tur guide jadi saya ngikut aja sama rombongan yang ada
tur guidenya.
Perkampungan
disini rapi. Ada denah rumah penduduk plus nama kepala keluarga di salah satu gang
yang saya lewati. Saya mengikuti orang orang sampai diterowongan Taman Sari,
disini ada yang lagi foto prewed.
Overall
perkampungan ini menarik, banyak penduduk yang menjual batik tulis asli. Dengar
dengar sih bisa belajar nyanting disini, harga Rp. 75.000 (untuk orang lokal),
tapi saya kurang tau didaerah mana.
Karena
sudah jam 11 siang, kami lanjut ke Kraton Yogya. Naik becak juga dari taman
sari, Rp. 15.000 dari Taman sari ke kraton. Tiket masuk ke kraton Rp. 3.000,
bila membawa kamera harus membeli tiket lagi Rp. 1.000 untuk kamera. Agak kaget
juga sih denger peraturan yang satu ini, saya kira di Indonesia ga ada
peraturan seperti ini. Kalo diluar negri memang ada beberapa object wisata yang
punya peraturan seperti ini. Kalo di Indonesia baru pertama kali saya merasakannya.
Karena
sudah siang dan terik, jadi agak malas malasan. Turis bule sudah memenuhi area
kesenian tari (istilah saya sendiri, saya ga tau namanya). Seperti pertunjukkan
sendratari, lengkap dengan gamelannya.
Sedangkan
turis lokal kebanyakan berdiri disamping, bukan mau menikmati pertunjukkan sih,
lebih tepatnya penasaran, ngapain sih bule bule pada disana. Begitu sudah dapet
jawabannya, foto bentar, cabut dah (me too).
Didalam
kraton dilarang memakai topi, dan tidak semua ruangan boleh dimasuki, tidak
semua tempat boleh difoto. Saya masuk kesalah satu ruangan, berisi pecah belah,
perlatan makan minum yang didepannya ada kereta kuda. Didalamnya ada beberapa abdi
dalem yang sedang bercakap cakap.
Saat
saya akan berfoto, tiba tiba dilarang tidak boleh berfoto, saya heran padahal
tidak ada tanda dilarang memotret.
Ternyata
maksudnya dia (abdi dalem) juga mau difoto. Selesai foto, you know what, abdi
dalem bilang “Mbak uang rokoknya?”.
Kagetlah
saya, maksudnya apa ya?
Masih
belum hilang kaget saya bilang lagi “Mbak uang rokokn sekadarnya”.
Oaalaahhh,
ternyata pungli liar. Sapa juga yang pengen foto sama situ, mending kalo
orangnya cakep, weleh weleh.
Sebenarnya
saya ga pengen ngasih sama sekali, tetapi abdi dalem mengulang ngulang kata
katanya. Ya udah yang yang ada disaku saya kasih. Waktu itu ada Rp. 2.000.
Langsung
abdi dalemnya bilang “Kalo mbaknya ga ada juga ga papa”, sambil balikin
duitnya.
Kembali
terpesona saya, ga tau kudu ngapain.
Lalu
temen saya ngasih duit sepuluh rebu, baru deh dia mo ngacir.
Ckckckckck,
seumur umur baru pertama kali saya wisata dalam negri dipalakin sama
petugasnya.
Sambil
rada ngedumel kita ngelanjutin perjalanan.
Karena
sudah jam 12 siang lebih, matahari semakin terik, jadi tambah males jalannya.
Ya
udah kita sudahi kunjungan ke kratonnya, lanjut makan siang di Milas – Prawirotaman.
Salah satu tempat makan yang kudu dicoba kalo mampir ke Yogya, kembali lagi
kata orang.
Kami
naik becak kesini, yang tempatnya jaaauuhhh banget, nawarnya sih Rp. 20.000,
karena jauh and kasian sama bang becak saya tambah jadi Rp. 30.000. Mending
naik taxi aja. Mana jalannya gede, lebar and berdebu. Alhasil saya pulang dari
Yogya batuk and pilek, oleh oleh yang tidak mengenakkan.
Milas,
adalah rumah makan vegetarian yang berkonsep alam. Jadi makannya bisa milih,
mau duduk lesehan, mau ditaman or makan ditempat biasa. Menunya sih biasa biasa
aja, nasi, mie, tempe. Btw, tempe disini mahal banget, ga worth kalo makan
tempe disini. Tapi berhubung yang makan rata rata bule, ya murahlah untuk
ukuran kantong mereka.
Saya
pilih yang lesehan, karena udah cape banget. Tapi tempat ini kurang kalo
menurut saya, kesannya memaksa, soalnya tempatnya kecil, taman gede, cenderung
gelap, banyak serangga.
Disini
juga menjual buku, kerajinan tangan, snack, and coklat monggo. Coklat monggo di
sini lebih bervariasi dan harga lebih murah daripada di Surabaya. Jangan lupa
beli Coklat Monggo kalo mampir kesini.
Menu
yang saya pilih, nasi goreng Magelang dan nasi goreng bayam merah all Rp.
19.000. kalo minum kita beli air mineral pitcheran Rp. 5.000.
Rasa
biasa saja, mungkin saya tidak tau spesial menu disini, and kita juga sudah
kere banget, jadi pesen menu yang paling murah dan mengenyangkan.
Selesai
makan, kita kembali ke penginapan dan rencana mau langsung ke stasiun Tugu.
Minta tolong dipesankan taxi oleh kasir, kami tunggu didepan. Ternyata taxinya
ga pake argo, jadi bilang mau kemana langsung dipatok harga (tapi saya lupa,
kalo ga salah sama dengan harga naik becak).
Dalam
perjalanan kami minta singgah ke pabrik bakpia patok, lalu mampir ke penginapan
dan langsng ke stasiun Tugu.
That’s
all my trip. Agak tergesa gesa nulisnya, selain sudah gempor ngetik, juga sudah
agak lupa.