Selasa, 10 Desember 2013

Yogya oh.... Yogya



Finally, Jogya…..Jogya, akhirnya kesampean juga berkunjung lagi ke kota bakpia patok.
Trip kali ini saya memakai tranportasi kereta api. Karena sudah lama sekali saya tidak naik kereta, terakhir tahun 2001, ke Jogya juga.
Sebetulnya paling praktis naik travel, jemput ditempat, sampai ditempat, ga perlu repot bawa tentengan kesana kesini, ga perlu datang and antri di stasiun (bis atau kereta), ga bakalan ketinggalan pula. Tapi naik travel makan waktu 7-8 jam (dari kota saya, Surabaya), sedangkan naik kereta cuma 5 jam. Selisih harga tidak banyak, bahkan bisa lebih murah naik kereta daripada naik travel, kalo beli tiket kereta jauh jauh hari sebelumnya. Harga tiket kereta bisa dicek di www.tiket.kereta-api.co.id

Kalo naik pesawat pasti lebih cepet kira kira satu jam, tapi harga tiket 1 kali jalannya bisa dapat tiket PP kereta api (dari Surabaya tidak ada penerbangan promo ke Yogya), belum lagi bayar airport taxnya, kudu check in 1 jam sebelum jam board, rempong, mahal dan sama sekali ga praktis (letak stasiun KA lebih terjangkau – di dalam kota, dibandingkan lokasi airport).

Btw, PT. PJKA sering lho ngadain promo, jadi buat yang mau travelling ala backpacker bisa juga manfaatin promo dari PJKA.
Tiket kereta api bisa dibeli via on line sekarang. Biaya adminnya, kalo payment pake ATM Bank (ga bisa payment by internet banking), kena charge Rp. 7.500 per transaksi. Kalo payment pake kartu kredit kena charge Rp. 22.000 (mahal ya). Mau ga kena charge, bisa, beli langsung di loket stasiun kereta hehehe…
Tiket kereta juga bisa dibeli di Indomaret lho, kena biaya Rp. 7.500 juga.

Oh ya, tiket kereta bisa dicancel, maksimal 30 menit sebelum jam keberangkatan, kena penalty 25% dari harga tiket. Dana refund 75% bisa diambil 1 bulan setelah proses pembatalan tiket diloket kereta (ada temen yang batal berangkat, jadi tiketnya direfund).

Saya naik kereta Sancaka sore, kelas Bisnis, jam 15.45 dari stasiun Gubeng baru (untuk pemberangkatan kereta kelas eksekutif dan bisnis).
Saya koq lebih suka suasana stasiun Gubeng lama (sekarang untuk pemberangkatan kereta kelas ekonomi). Tahun 2001 waktu saya naik kereta dari sana, suasananya menyenangkan disana, tapi saya tidak tau kondisi stasiun Gubeng lama sekarang ini.

Karena melewati jam makan malam, saya sudah siap nasi bungkus buat makan dikereta dan air minum. Soalnya harga makanan di kereta mahal banget, sepiring bisa Rp. 20.000.
Tapi tenang aja, disetiap pemberhentian stasiun banyak koq pedagang yang menawarkan makanan, dan harganya ga sampe Rp. 10.000. Tapi beli minum dipedagang mahal sebotol bisa Rp. 4.000, ada juga stasiun yang jual air minum Rp. 3.000 per botol (kalo ga salah stasiun Madiun).
Oh ya, PJKA juga menyewakan bantal duduk, harga sewa Rp. 10.000.

Info hasil berguru sama mbah Google, katanya kereta kelas bisnis sekarang pake AC, hoorreeee….ga perlu kepanasan and ga berisik. But you know what, kereta yang saya naiki tidak ada AC, cuma ada fan, yang sama sekali ga berasa (kecewa.com – apa karena saya berangkat beli tiket promo yah???). Untung saya naik kereta sore, jadi panas bentar doang sampe jam setengah lima sore, ga kebanyang deh kalo naik kereta pagi yang nyampenya siang, panasnya ampun deh….

Karena perjalanan sore hari, jadi saya bisa dapet view sunset, lumayanlah. Pemandangan dari jendela kereta sawah sawah, or perkampungan pinggir kereta, that’s all. 5 jam benar benar lama, ngobrol sampai bosan, tapi ga bisa tidur. Sepanjangan perjalanan saya tidak ke toilet, jadi saya tidak bisa info kondisi toilet di dalam KA. Hanya saja waktu lewat didepan toilet saya tidak mencium “parfum” khas toilet.
Angin malam yang masuk lumayan kenceng, jadi saya pake jaket daripada masuk angin.

Jam ketibaan kereta ditiket 20.29, jam 8 lebih 15 menit kereta sudah masuk di kota Yogyakarta, kemacetan kendaraan menuju ke Malioboro sudah tampak. Saya tidak tau dijalan mana, yang pasti jalur kereta berada diatas jalan raya, jadi view jalan raya dan lampu lampu kota tampak cantik, tapi saya ga sempet motretnya.
Kereta on time, sampai di stasiun Tugu jam setengah 9 malam, kereta stop di  jalur 4 (disini ada 6 jalur kereta). Turun ke toilet dulu (gratis). Disini ada depot menjual menu makanan Indonesia yang murah, range harga Rp. 8.500 – Rp. 15.000.
Untuk keluar dari stasiun kudu lewat terowongan (turun dan naik tangga), buat yang bawaannya berat dan banyak, sama sekali tidak praktis, lebih baik tanya ke petugas exit yang ga usah lewat terowongan. Dipintu keluar ada  7-11, kami mampir sebentar disini.

Kami naik becak, tujuan  Hotel Pantes, di jalan Sosrakusuman, belakang malioboro mall, ongkos becak, hasil menawar Rp. 10.000.
Tapi penginapan ini ga bisa dibooking, jadi kudu book ditempat.
Waktu book tiket kereta, saya ga memperhatikan masa liburan sekolah (sama sekali lupa kalo bulan Juni bulan liburan sekolah), yang saya perhatikan hanya harga tiket paling murah hari Jum’at (SBY – YGY) dan Minggu (YGY – SBY).
Alhasil, begitu saya sampai ditempat, penginapan full.

Penginapan favorit turis backpacker di Malioboro, yaitu dijalan Sosrowijayan, kalo dari stasiun tugu jalan aja, deket koq. Menyebrang perempatan malioboro gang pertama dari ujung jalan adalah jalan Sosrowijayan. Tapi kalo book penginapan disini jangan dekat dekat dengan jalan pasar kembang, itu adalah daerah prostitusi. Yang ke dua di jalan Dagen (sepanjang jalan Dagen isinya penginapan, rumah makan bisa dihitung jari, tapi hebatnya semuanya full – OMG), lalu dijalan Sosrokusuman (jalan ini kurang begitu populer, masuk digang sempit) dan terakhir setelah pasar Beringharjo (saya lupa nama jalannya).
Setelah itu dekat kraton or di Prawirotaman (tempat favorit turis asing), tapi jauh dari Malioboro dan tidak ada transport umum yang menjangkau langsung, harus naik bis trus naik becak.
Info penginapan bisa dilihat di www.yogyes.com, tapi tidak semua penginapan masuk diweb ini.

Didepan Hotel Pantes ada penginapan The Munajat Backpacker (penginapan yang satu ini juga banyak direkomendasikan). Letak ke dua penginapan ini sangat strategis, makanya saya pilih disini, hanya 1 menit dari Malioboro, dekat Halte Trans Jogya – Malioboro 2. Mau makan, jalan dikit aja ke pasar Beringharjo, benar benar penginapan yang OK untuk pelancong ala hemat.
Tapi apa daya saya datang diwaktu yang kurang tepat, jadi ga bisa menikmati penginapan disini.
Harga Hotel Pantes untuk 2 bed dengan  kamar mandi dalam Rp. 90.000 per malam, dapat teh manis di pagi dan sore hari,  murah kan.

Sama bapak becak, yang sudah mengerti kalo penginapan banyak yang penuh, kita ditunggu, just in case kalo penginapan penuh, kami dibantu dicarikan penginapan lain. Seperti prediksi bapak becak penginapan sudah penuh, ya udah cari penginapan dekat Pasar Beringharjo, tujuan, gampang nyari sarapan dan dekat halte Trans Jogya – Ahmad Yani. Tapi rupanya keberuntungan belum berpihak pada kami, jadi keliling keliling hampir 30 menit masih belum menemukan penginapan.

Berjumpa dengan polisi patroli yang  memberitahu kalo penginapan di daerah Malioboro, jalan Sosrowijayan, Dagen dan Sosrokusuman sudah full. Jadi aternatif tinggal stay di Prawirotaman atau di daerah Kraton.
Pertama kali dalam sejarah travelling saya merasa panik tidak dapat penginapan, mau tidur dimana saya malam ini. Dalam perjalanan saya sempatkan telpon ke beberapa penginapan hasil googling, dan alhasil smua penginapan sudah penuh, lalu saya on line www.booking.com, dan benar aja tidak ada penginapan murah, yang paling murah Rp. 800.000,……sempet ngeblank sebentar….. delapan ratus rebu!!! Alamak mahal amat, ga banget deh buat gaya travelling saya yang ala backpacker, kita bilang sama bapak becak minta tolong dicarikan didekat Malioboro. Sama bapak becak kami diarahkan dekat stasiun Tugu, kami Ok aja, yang penting dapat penginapan. Saya sudah siap siap seandainya ga dapat penginapan, terpaksa 1 malam ngamar dihotel berbintang, ga mungkin kan kalo tidur dijalan.

Akhirnya info hasil bertanya bapak becak, kami diberitahu masih ada 1 kamar kosong di jalan Jlagran, belakang jalan Malioboro. Jadi kami langsung kesana.
Nama penginapan Wisma Tapan, Jl Jlagran No 7.  Telp (0274) 580397
Jalan santai ke Malioboro max 10 menit. Penginapan dengan fasilitas kamar mandi dalam sudah penuh, yang tersisa hanya 1 kamar, kamar mandi luar. Ya udah apa boleh buat, yang penting dapat kamar.
Kamar standar, tempat tidur kapuk (agak sedikit tidak nyaman – bisa untuk 2 orang), ada meja cermin kecil, kipas angin dinding, ada kursi dan meja kecil diluar kamar, kamar mandi bersih, fasilitas roti dan teh manis pagi hari, plus 2 botol air mineral per hari. Harganya sangat tidak masuk akal buat saya, Rp. 150.000 per malam (mungkin ini harga high season, untuk low season mungkin hanya 50ribu an), dan hanya tersisa 1 kamar saja. Karena sudah malam, jam 10 lebih, kami langsung book buat 2 hari.

Saya suka tempat ini ada taman kecil, jadi udara pagi segar. Minus penginapan ini, dinding kamar sangat tipis, jadi kalo tetangga kamar ngobrol terdengar, berisik. Hanya ada 1 stop kontak, jadi kudu gantian charge batterai  and yang punya penginapan punya ayam jantan banyak, jadi kalo pagi….. ya gitu deh….

Belum cerita perjalanan saya, prolog perjalanan saya sudah banyak. Semoga ga bosen ya baca trip saya kali ini.

OK, start to my real trip.
Sabtu, 29 Juni 2013
Borobudur – Prambanan – Mirota, Malioboro – Masangin

Bangun pagi pagi, tujuan supaya ga antri kamar mandi (karena penginapan full), secara kamar mandi share. Saya mandi jam 4 pagi, setelah mandi, lanjut tidur lagi hehehe…
Karena saya sudah pesan ke bapak pengurus penginapan kalo jam 6 pagi saya sudah mau berangkat ke Borobudur, jadi saya minta teh dan roti diantarkan jam 6 pagi.

Selesai minum teh, langsung berangkat ke halte Malioboro 1 (letaknya diujung jalan Malioboro, dekat stasiun Tugu).
Trans Jogya ada 6 jalur, 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B. Rute bisa dilihat di www.yogyes.com
Dibandingkan dengan Busway Jakarta, saya lebih suka naik Trans Jogya (warna bis hijau). Kenapa? Harga lebih murah Rp. 3.000, ga perlu naik turun tangga, langsung datang hanya perlu naik 3 anak tangga saja, beli tiket bis, lalu masuk ke dalam halte mini, tunggu bis datang. Ada kursi tunggu tapi hanya cukup buat 3/4orang saja.
Minus dari Trans Jogya, jadwal bis tidak bisa diprediksi, dan tidak beraturan. Maksud tidak beraturan, misal baru saja datang bis 1A, belum tentu selanjutnya yang datang bis 1B, kadang yang datang bis 1A lagi, disebabkan karena rute bis 1B yang macet, jadi kedatangannya terlambat.
Kalo tidak mengerti rute, tinggal tanya petugas, nanti diarahkan naik bis jalur berapa turun dimana.

Saya naik bis 3A, turun di Halte Kha Dahlan, sambung jalur 2B, turun diterminal bis Jombor. Bisa juga naik jalur 2A, tidak usah ganti bis, sampai diterminal Jombor. Tapi rute lebih memutar, oleh petugas kami diarahkan rute yang lebih pendek. Lama perjalanan plus tunggu bis setengah jam untuk sampai di terminal Jombor.
Walaupun saya ganti bis, tapi saya tidak perlu beli tiket lagi.

Sudah ada bis jurusan Borobudur didekat halte Trans Jogya, di depan kaca bis terpasang papan Yogya – B.Budur.
Bis menunggu penumpang penuh baru berangkat, ongkos Rp. 15.000.
Di jalan Magelang kira kira KM 12 ada kecelakaan antara mobil vs sepeda motor, rupanya ada korban jiwa (info dari penumpang yang naik dari sana), jadi perjalanan agak macet. Karena kecelakaan baru terjadi jadi kemacetan tidak parah. Perjalanan juga melalui stasiun bis Muntilan
(info saja siapa tau ada yang mau ke Muntilan).

Jam 9 pagi kami sampai di stasiun bis Borodudur. Lama perjalanan 1,5 jam dari terminal Jombor. Dari sini kami naik becak motor ke candi, ongkos Rp. 15.000.
Bapak becak menawarkan tur ke candi candi lain di sekitar Borobudur, membaca blog orang lain yang punya pengalaman buruk dengan hal ini, jadi kami tolak dengan halus tawarannya. Sampai dicandi, kembali bapak becak menawarkan penjemputan, dengan memberikan no HP yang bisa dihubungi, jadi tinggal SMS nanti dijemput, saya catat nomornya, masalah jadi atau ga jadi urusan belakangan.


Kami berjalan menuju ke loket, tiket masuk Rp. 30.000. agi yang ingin masuk ke Borobudur view Sunrise, jam 04.30 WIB tiket masuk Rp. 300.000 (biasanya yang masuk turis asing or fotografer yang berburu sunrise). Walaupun masih pagi pengunjung sudah banyak, terutaman wisatawan domestik, banyak sekolah sekolah yang mengadakan studi tour disini, yang paling jauh dari Papua (takjub.com), ada yang dari Kalimantan, Sulawesi, jauh banget yah studi tournya.
Jam buka candi : 06.00 – 17.00 WIB

Sepanjang jalan dari pintu masuk sampai loket tiket banyak stand yang menjual bajudan makanan. Saat ini untuk pengunjung berusia diatas 16 tahun diwajibkan untuk memakai kain. Kainnya bagus lho, saya suka motif batiknya, beda dengan kain diBali.
Sudah lama saya tidak mengunjungi Borobudur, terasa kalo candi yang satu ini tinggi banget, dan luas.

Beruntung cuaca sangat bersahabat, sama sekali tidak ada matahari, cuaca sejuk. Jadi kami sangat menikmati perjalanan kami, bisa mengambil banyak gambar disini. Saat kami mencapai puncak, jam menunjukkan pukul setengah 11 siang, matahari mulai menampakkan diri, panas sekali, jadi setelah pose sana sini, kami langsung turun ke bawah. Tujuan ke musem, untuk duduk dan ngadem sih sebenarnya hehehe…..


Jam setengah 12 siang kami kembali ke Malioboro. Matahari terik sekali, kami exit diarahkan melewati pedagang kaki lima. Bagi yang ingin beli oleh oleh, saya sarankan beli disini, harga lebih murah dibandingkan di Malioboro.

Diluar pagar sama sekali tidak ada becak, yang ada hanya andong, dan itupun cuma ada satu. Terpikir untuk sms P. Nur (nama bapak becak tadi), tapi saya putuskan untuk naik andong saja. Karena saya sudah ga tahan dengan panasnya matahari disana. Ongkos tawar menawar Rp. 10.000.

Sampai di terminal bis, sama sekali tidak ada bis, kata penjaga warung bis terakhir baru saja berangkat. Dan ada yang menawarkan jasa untuk mengantarkan ke Yogya, katanya kalo hari Sabtu dan Minggu, banyak yang memakai jasa persewaan mobil, jadi bis jarang. Karena saya sudah baca blog orang, memang ada hal semacam ini disana, jadi saya ignore aja. Baru saja saya mau duduk diwarung, eh bis sudah datang.

Jalan Magelang masih macet, saat ini macetnya lebih parah dibanding saat berangkat, rupanya kecelakaan pagi tadi masih menyisakan kemacetan disana.

Kata orang kalo ke Yogya jangan lupa mampir ke rumah makan jejamuran di Sleman. Karena Sleman jauh jadi saya skip tempat ini dari itinerary. Ternyata waktu berangkat dari Jombor ke Borobudur saya melihat kalo letak rumah makan ini di jalan Magelang yang dilalui bis dari/ke stasiun bis Jombor.

Karena tidak tau alamat persisnya, saya bilang ke bapak sopir dan kernet bis kalo mau turun di rumah makan jamur. Ternyata kernet sok pintar, rumah makannnya sudah kelewatan.... yah, batal deh menyicipi makanan ala jamur.
Kalau mau makan disini ingat, turun di jalan Magelang KM 10. Dari sana sudah ada banner kalo rumah makan Jejamuran dari jalan utama masuk kira kira 800 meter.

Sampai di Jombor, penumpang di halte sudah penuh. Bis yang datang jalur 2B, selang 5 menit datang lagi bis jalur 2B. Menunggu 20 menit baru bis 2A datang (karena jalur bis 2A macet, ada perbaikan jalan), kami turun di halte Malioboro 2, tujuan makan siang di Loving Hut.
Sampai di Malioboro sudah jam setengah 3 sore, kelamaan di antri Trans Jogya dan macet dijalan.
Alamat Loving Hut : Jl. Dagen, Malioboro, (Jl. Kemetiran Kidul No. 1).
Masuk ke jalan Dagen, jalan sampai perempatan pertama, Loving Hut disebelah kanan jalan.

Bagi vegetarian yang tidak makan bawang, waktu order jangan lupa bilang ke pelayan. Saya order Mie pangsit (karena pengen makan kuah), teman saya order nasi bakmoy. Saya juga order Burger, tapi dibungkus, untuk makan malam.
Over all, menu OK, harga lebih mahal dibandingkan dengan Loving Hut express di Surabaya, range harga Rp. 14.000 – Rp. 25.000.

Karena sudah sore, kami putuskan untuk segera menuju ke Prambanan. Sengaja ke sini sore hari supaya ga panas, ke Borobudur juga pagi hari, menghindari panas matahari.

Naik bis jalur 1A dari Malioboro. Normalnya perjalanan ke Prambanan dari Malioboro 30 menit. Tapi perjalanan yang saya tempuh 1 jam *tepok jidat*, gara gara macet luar biasa karena ada proyek pelebaran jalan.

Oh ya, tips naik trans Jogya. Meskipun bis penuh dan harus berdiri, masuklah kebelakang jangan ke depan, karena dibelakang lebih banyak tempat duduk, dibandingkan didepan. Jadi bila ada penumpang yang turun bisa dapat tempat duduk.
Pengalaman saya yang nota bene sehari hari ga naik bis, naik bis cuma kalo travelling ke luar negri, jadinya saya berdiri sepanjang perjalanan karena penumpang yang duduk didepan ga turun turun, sedangkan penumpang yang belakang sudah naik turun *cape lho*.

Jam 17.10 kami sampai distasiun bis Prambanan. Karena mau cepat sampai, takut keburu candi tutup, kami naik becak motor. Hasil tawar menawar Rp. 10.000. Tapi ternyata dekat, hanya perlu menyebrang jalan, lalu susuri sepanjang jalan sampai ada belokan, belok, jalan sedikit, sampai deh.

Jam operasi candi Prambanan : 06.00 – 18.00
Loket tiket buka sampai jam 17.45, candi ditutup sampai pengunjung habis.
Tiket masuk Rp. 30.000 (tiket seperti kartu ATM, yang dimasukkan ke mesin pintu masuk), tapi bisa buat masuk ke beberapa candi kecil disekeliling candi.
Kalo mau keliling ke candi candi lain, jam 15.00 max sudah harus sampai disini, lalu keliling dulu ke candi yang lain, baru terakhir masuk ke Prambanan. Ada fasilitas bis gratis menuju kecandi Bokor dari Prambanan.


Karena masuk ke sini sudah mendekati jam tutup candi, jadi pengunjung hanya sedikit dan tidak banyak orang berebut untuk foto.
Berdasarkan info dari teman yang dulu kuliah di Yogya, katanya Prambanan masih berbau mistis, jadi karena sudah magrib, saya hanya keliling disekitar candi, dan tidak ada 1 candipun yang saya masuk ke dalam. Hanya naik saja, dan keliling disepanjang pelataran candi.

Kata orang sunset disini bagus sekali, tapi apa daya waktu itu berawan, jadi sama sekali tidak ada view sunset. Oh ya, kalau ingin foto dengan view ke 5 candi terlihat semua, foto waktu sebelum memasuki kawasan candi, dipekarangan candi - lapangan rumput, sebelum tempat pengambilan kain. Sama seperti Borobudur, masuk ke sini juga perlu pakai kain bagi pengunjung yang sudah dewasa. Kain masuk kesini lebih halus dibandingkan kain di Borobudur, gambar batiknya juga beda. Untuk gambar saya lebih suka motif candi di Borobudur, untuk kainnya saya lebih suka kain di prambanan.

Untuk masuk ke candi terbesar (Candi Siwa), pengunjung harus antri, karena diwajibkan memakai helm.

Beda candi Borobudur dan Prambanan, menurut pengamatan saya terletak dari relief candi. Relief candi Borobudur merupakan kisah perjalanan pangeran Sidarta Gautama menjadi Budha. Sedangkan candi relief Prambanan mengisahkan kisah Mahabarata. Selain itu bentuk stup candi berbeda. Candi hindu cenderung lebih runcing sedangkan candi Budha stupa lebih melebar, ujung stupa tidak runcing.

Jam 6 lebih para pengunjung sudah mulai meninggalkan candi, karena disini sama sekali tidak ada penerangan, jadi kalo malam gelap gulita. Ada turis dari Itali, memaksa masuk lagi (poisi sudah hampir exit), sampe nyogok petugas supaya dikasih masuk (terang terangan lho), tapi ga dikasih ijin.
Dari pintu exit, kembali melalui para pedangan yang berjualan asesoris, baju, tas, kerajinan. Ada orang Jakarta yang flight malam, jadi sebelum ke airport ke Prambanan dulu, jalan jalan plus borong, baru naik bis ke Airport. Karena rute bis trans Yogya melalui Airport. Jadi buat pelancong yang ingin menghabiskan waktu sebelum ke airport, kayaknya Prambanan ini cocok untuk dijadikan last destination.
Harga barang disini lebih murah dibandingkan di Malioboro.

Pada hari hari tertentu ada pertunjukkan sendratari Ramayana dipelataran barat candi, tiket untuk melihat pertunjukkan tari ini kalo ga salah ditas Rp. 200.000. Biasanya yang melihat pertunjukan ini turis asing.

Pelataran Candi Prambanan sebagian besar taman, yang kalo malam gelap gulita tidak ada penerangan sama sekali dan tidak ada petunjuk exit, jadi ikuti saja rombongan orang orang yang exit.
Pengalamam dari perjalanan menuju ke candi dari stasiun (koq keliatan dekat),jadi kami kembali ke stasiun jalan kaki.
Berhubung sudah gempor and males jadi rasanya perjalanan jauh banget, rasanya jalan kaki 15 menit (kalo ga salah).

Antri bis Transyogya tidak begitu lama, lama perjalanan kembalike Malioboro 1 jam. Kami turun di benteng Vredeburg, naik becak tujuan Masangin (Pohon beringin di dekat kraton). Ternyata tukang becak di Yogya, mahal, tarif paling murah 10.000 (untuk tujuan dekat).
Ternyata abang becak di Yogya ga ngerti masangin. Mereka taunya pohon beringin di alun alun utara atau selatan. Nah lho, kagak tau gua neh, alun alun sebelah mana yah?

Ya udah pasarah aja sama bang becak, nawar 10.000, dibawa ke alun alun utara. Yang ternyata cuma pasar malam (kurang begitu bagus) and ada 2 pohon beringin (tapi ga besar). Proteslah diriku, “Bukan yang ini pak”, “Oh, kalo gitu alun alun selatan, mbak”.

Ya udah naik, lagi ke alun alun selatan, yang ternyata jauh banget, perjalanan 15 menitan, naik becak. Lewat belakang taman sari, sebelumnya banyak lewat kios kios yang berjualan kaos kaos, bisa mampir kalo mau. Alun Alun selatan ga ada jam tutupnya. Semakin malam semakin rame.

Sampe disana, ternyata ramee banget, sama abang becak ditawari, saya tunggu aja mbak, nanti saya antar kembali ke penginapan. Pengalaman susah nawar becak di depan benteng Malioboro, jadi saya iya kan saja.

Disini banyak kereta hias, ga tau bayar berapa kalo mau naik. Gambarnya macem macem dari tokoh pewayangan sampe tokoh kartun. Saya mencoba berjalan diantara 2 pohon beringin dengan mata tertutup, tapi ga sewa kain tutup mata, pake tutup mata sendiri and berhasil.
Sewa kain untuk penutup mata Rp. 5.000.

Selain main naik kereta hias dan jalan diantara 2 pohon beringin, tidak ada lagi yang menarik disini. Karena sudah malam kita balik ke penginapan.
Gempornya perjalananan hari ini.


Minggu, 30 Juni 2013
Benteng Vredeburg, Taman Sari, Kraton Yogya.

Pagi ini kami berjalan melintasi jalan Malioboro, foto di tulisan malioboro dalam huruf honocoroko dan tidak lupa foto diplang jalan Malioboro. Walaupun masih pagi jam setengah 7, mau foto disini antri lho.

Kami berjalan sampai diPasar Beringharjo, tujuan sarapan pagi. 1 blok sebelum pasar beringharjo ada gate ala pecinan, seperti yang Petaling Street, Kuala Lumpur. Gate gang Ketandan. Foto foto dulu sebelum lanjut ke pasar Beringharjo.


Sarapan pagi didepan pasar, bihun dan kuah kacang (no lauk, karena saya vegetarian). Ternyata bayarnya mahal banget Rp. 8.000 (OMG). Tapi semua lauk disana memang mahal mahal. Rata rata pengunjung lain makan disana bayar Rp. 15.000 lebih. Harga segini mending makan didepot yah.

Selesai sarapan masuk ke Benteng Vredeburg. Tiket masuk Rp. 2.000. Benteng ini buka mulai pukul 8 pagi. Ga ada yang bagus sih dari benteng ini, hanya benteng kecil, dengan ruang diaroma. Keliling disini cukup 1 jam saja, lumayan untuk menghabiskan waktu.


Next lanjut ke Taman Sari. Naik becak Rp. 15.000. Saya koq ga pernah berhasil menawar becak Rp. 10.000 (kagak ada becak yang mau dengan harga segitu). Saya lupa harga tiket masuk ke taman ini. Masuk kedalam langsung ada kolam renang, yang katanya konon adalah tempat pemandian raja.
Disini tidak ada yang istimewa menurut saya. Yang istimewa adalah perkampungan dibalik Taman Sari.


Karena saya tidak pakai jasa tur guide jadi saya ngikut aja sama rombongan yang ada tur guidenya.
Perkampungan disini rapi. Ada denah rumah penduduk plus nama kepala keluarga di salah satu gang yang saya lewati. Saya mengikuti orang orang sampai diterowongan Taman Sari, disini ada yang lagi foto prewed.


Overall perkampungan ini menarik, banyak penduduk yang menjual batik tulis asli. Dengar dengar sih bisa belajar nyanting disini, harga Rp. 75.000 (untuk orang lokal), tapi saya kurang tau didaerah mana.


Karena sudah jam 11 siang, kami lanjut ke Kraton Yogya. Naik becak juga dari taman sari, Rp. 15.000 dari Taman sari ke kraton. Tiket masuk ke kraton Rp. 3.000, bila membawa kamera harus membeli tiket lagi Rp. 1.000 untuk kamera. Agak kaget juga sih denger peraturan yang satu ini, saya kira di Indonesia ga ada peraturan seperti ini. Kalo diluar negri memang ada beberapa object wisata yang punya peraturan seperti ini. Kalo di Indonesia baru pertama kali saya merasakannya.
 
Karcis kamera
Karena sudah siang dan terik, jadi agak malas malasan. Turis bule sudah memenuhi area kesenian tari (istilah saya sendiri, saya ga tau namanya). Seperti pertunjukkan sendratari, lengkap dengan gamelannya.
Sedangkan turis lokal kebanyakan berdiri disamping, bukan mau menikmati pertunjukkan sih, lebih tepatnya penasaran, ngapain sih bule bule pada disana. Begitu sudah dapet jawabannya, foto bentar, cabut dah (me too).


Didalam kraton dilarang memakai topi, dan tidak semua ruangan boleh dimasuki, tidak semua tempat boleh difoto. Saya masuk kesalah satu ruangan, berisi pecah belah, perlatan makan minum yang didepannya ada kereta kuda. Didalamnya ada beberapa abdi dalem yang sedang bercakap cakap.
Saat saya akan berfoto, tiba tiba dilarang tidak boleh berfoto, saya heran padahal tidak ada tanda dilarang memotret.

Ternyata maksudnya dia (abdi dalem) juga mau difoto. Selesai foto, you know what, abdi dalem bilang “Mbak uang rokoknya?”.
Kagetlah saya, maksudnya apa ya?
Masih belum hilang kaget saya bilang lagi “Mbak uang rokokn sekadarnya”.
Oaalaahhh, ternyata pungli liar. Sapa juga yang pengen foto sama situ, mending kalo orangnya cakep, weleh weleh.
 
Nih....abdi dalemnya
Sebenarnya saya ga pengen ngasih sama sekali, tetapi abdi dalem mengulang ngulang kata katanya. Ya udah yang yang ada disaku saya kasih. Waktu itu ada Rp. 2.000.
Langsung abdi dalemnya bilang “Kalo mbaknya ga ada juga ga papa”, sambil balikin duitnya.
Kembali terpesona saya, ga tau kudu ngapain.

Lalu temen saya ngasih duit sepuluh rebu, baru deh dia mo ngacir.
Ckckckckck, seumur umur baru pertama kali saya wisata dalam negri dipalakin sama petugasnya.
Sambil rada ngedumel kita ngelanjutin perjalanan.

Karena sudah jam 12 siang lebih, matahari semakin terik, jadi tambah males jalannya.
Ya udah kita sudahi kunjungan ke kratonnya, lanjut makan siang di Milas – Prawirotaman. Salah satu tempat makan yang kudu dicoba kalo mampir ke Yogya, kembali lagi kata orang.

Kami naik becak kesini, yang tempatnya jaaauuhhh banget, nawarnya sih Rp. 20.000, karena jauh and kasian sama bang becak saya tambah jadi Rp. 30.000. Mending naik taxi aja. Mana jalannya gede, lebar and berdebu. Alhasil saya pulang dari Yogya batuk and pilek, oleh oleh yang tidak mengenakkan.

Milas, adalah rumah makan vegetarian yang berkonsep alam. Jadi makannya bisa milih, mau duduk lesehan, mau ditaman or makan ditempat biasa. Menunya sih biasa biasa aja, nasi, mie, tempe. Btw, tempe disini mahal banget, ga worth kalo makan tempe disini. Tapi berhubung yang makan rata rata bule, ya murahlah untuk ukuran kantong mereka.

Saya pilih yang lesehan, karena udah cape banget. Tapi tempat ini kurang kalo menurut saya, kesannya memaksa, soalnya tempatnya kecil, taman gede, cenderung gelap, banyak serangga.

Disini juga menjual buku, kerajinan tangan, snack, and coklat monggo. Coklat monggo di sini lebih bervariasi dan harga lebih murah daripada di Surabaya. Jangan lupa beli Coklat Monggo kalo mampir kesini.

Menu yang saya pilih, nasi goreng Magelang dan nasi goreng bayam merah all Rp. 19.000. kalo minum kita beli air mineral pitcheran Rp. 5.000.
Rasa biasa saja, mungkin saya tidak tau spesial menu disini, and kita juga sudah kere banget, jadi pesen menu yang paling murah dan mengenyangkan.

Selesai makan, kita kembali ke penginapan dan rencana mau langsung ke stasiun Tugu. Minta tolong dipesankan taxi oleh kasir, kami tunggu didepan. Ternyata taxinya ga pake argo, jadi bilang mau kemana langsung dipatok harga (tapi saya lupa, kalo ga salah sama dengan harga naik becak).

Dalam perjalanan kami minta singgah ke pabrik bakpia patok, lalu mampir ke penginapan dan langsng ke stasiun Tugu.
That’s all my trip. Agak tergesa gesa nulisnya, selain sudah gempor ngetik, juga sudah agak lupa.